Selalu begini.
Susah memulai dari mana. Menulis apapun bagiku selalu sulit untuk menentukan
kalimat yang akan menjadi awalannya. Dan hasilnya PR mendadak dangdut yang
diberikan mbak Riri ini juga molor dari target yang kutentukan sendiri yaitu
hari Jumat kemaren. Aku melotot di depan halaman Word dengan sebaris kalimat Pengalaman
waktu SD yang kuketik sekitar setengah jam sebelumnya (aku terbiasa menulis
entry blog-ku di word, bukan hanya
entry blog, notes FB juga, mungkin warisan kebiasaan menulis thesis dan beragam
jurnal ilmiah yang notabene harus pake Word,
otakku buntu jika harus menulis di laman entry blog original. Hihihi, aneh apa
wajar ya ini,,,?). Berkali – kali aku menyusun dua tiga kalimat, lalu kuhapus.
Berasa aneh, feelnya gak masuk dan berbagai alasan lain. Akhirnya, jumat
kemarin aku menyerah saja. File itu aku save dengan hanya ada judul didalamnya.
Dengan janji bahwa weekend ini harus SELESAI!!
Dan itu
dimulai pada bulan Juli tahun 1990. Kisah yang lebih banyak berwarna Abu – abu.
Kisah yang sebenarnya tidak ingin aku bagi. Kisah yang akhirnya tidak
membentukku menjadi seorang anak yang gagal melewati masa kanak – kanak nya.
Aku melaluinya dengan mulus. Kelas 1A. Aku
masuk SDN Puger Kulon 1 ketika usiaku baru 5.5 tahun. Harusnya aku masih duduk
di TK Besar. Tapi jaman dulu tidak ada
batasan usia minimal untuk masuk SD, bahkan ada temanku yang baru umur 5 ketika masuk SD. Guru SD kelas 1-ku bernama
Riwajati. Kami memanggilnya bu Yati. Orangnya cantik sekali. Dalam ingatanku
kulit Bu Yati sangat putih, rambutnya berombak, dan senyumnya selalu
mengembang. Beliau sangat telaten mengajari kami mengenal huruf, merangkainya
menjadi kata, mengajari berhitung sederhana (jaman dulu materi pelajaran kelas
1 adalah pelajaran sederhana, tidak seperti materi pelajaran keponakanku
sekarang,.. Susyeehh). Aku ingat Bu Yati yang cantik dan penyabar beberapa kali mendapat
hadiah tendangan dari murid2 yang berontak ketika diimunisasi (sekarang masih
ada gak ya imunisasi untuk pelajar sekolah yang jarumnya 1 untuk seluruh isi
kelas??). Tidak ada yang spesial di kelas satu kecuali 2 kali imunisasi yang
menghebohkan itu. Sebentar. Ada. Aku pernah dikira diculik. Waktu itu sekolah
pulang pagi. Dan aku tidak pulang ke rumah. Aku ikut kawanku pulang kerumahnya
yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Akhirnya menjelang duhur, setelah lama
bermain, aku diantar pulang oleh kakak kawanku itu dengan dibonceng sepeda.
Sampai di rumah, ternyata sudah banyak orang berkerumun di depan rumahku,
bapak, ibuk, paklek, bulek, embah dan tetangga2. Aku hanya bengong ketika turun
dari boncengan kakak kawanku itu. Yang kuingat, bapak langsung menggendongku.
Ternyata kakakku yang bertugas menjemputku di sekolah pulang dengan menangis,
dia khawatir aku diculik karena menurut tukang becak yang mangkal di depan
sekolahku, sekolah sudah selesai sejak pukul 8 pagi. Pada tahun itu memang
sedang ramai kasus penculikan di kota besar. Tapi aku tinggal di desa, dan aku
hanya main ke rumah teman.
Kelas 2. Aku
kebagian kelas siang yang artinya aku masuk sekolah jam 10 siang, pulang jam
12, kembali lagi ke sekolah jam 2 untuk les (komersialisasi pendidikan waktu
itu, setiap murid wajib ikut les). Yang aku ingat waktu kelas 2 adalah aku
harus menyiapkan keperluan sekolahku sendiri, karena ibuku sudah berangkat ke sekolah
pagi – pagi (ibuku dulunya seorang guru yang kemudian beralih menjadi staf TU
di SMP tempatnya mengabdi dari awal pengangkatan hingga pensiun) dan bapakku ke
sawah. Pernah satu kali di sekolah badanku penuh dengan bentol – bentol yang
rasanya gatal dan panas. Rupanya ada ulat bulu yang menempel di handukku.
Karena guru kelasku laki2 waktu itu –yang menurutku agak sedikit kurang
perhatian kepada murid2nya– maka aku hanya bisa mojok di ruang kelas sambil
menangis. Tak ada yang menolong. Duh, kasian ya?
Kelas 3. Bibit
– bibit kenakalanku mulai berkecambah di sini. Penyebabnya? Guruku kelas 3
sangat pilih kasih. Banyak hal – hal yang dia tuduhkan kepadaku. Entah apa
penyebabnya. Aku dituduh membuka rok kawan – kawan perempuanku (hello?? Bu saya
ini straight lho.. Dan gambar CD saya
jauh lebih lucu dari pada punya kawan2 itu). Permainan cabul anak laki2 ini
tidak jarang dituduhkan kepadaku. Entah atas alasan apa beliau menuduhku begitu
– belakangan aku tahu kalau anak2 perempuan mayoritas di kelasku lah yang
mengadu kepada guruku. Dan hasilnya, aku benar2 membuka rok anak2 perempuan
tukang mengadu itu. Toh, melakukan atau tidak, aku tetap akan dituduh dan
dihukum! Yang aku ingat waktu kelas 3 aku jarang bergaul dengan anak2
perempuan, aku lebih sering menyendiri, menyedihkan. Terkadang aku menjadi
bagian dari kaum minority. Tapi kawan2 minority-ku itu menyenangkan. Banyak hal
yang akhirnya bisa kubagi dengan mereka. Dan merekapun berbagi denganku. Cerita
– cerita lucu, permainan konyol dan banyak hal yang membentukku sebagai murid
SD kelas 3 tanpa tekanan. Guruku? Masih tetap. Di kelas, tunjuk jariku tak
jarang diabaikan. Aku baru ditunjuk kalau aku jadi satu2nya orang yang tunjuk
jari atas pertanyaannya. Dan aku menjawab dengan benar. Menyedihkan.
Menginjak
kelas 4 aku mulai bersosialisasi dengan mayoritas kawan2 perempuanku. Tidak ada
lagi tuduhan – tuduhan nyeleneh. Kali ini Guruku seorang laki2 yang jangkung
dan botak dengan kacamata tebal dan bersuara sangat lantang. Namanya Pak
Pardji. Di kelas 4, kami kedatangan murid baru, namanya Astri (sampai sekarang
aku dan Astri akhirnya menjadi kawan yang dekat. Hampir sangat dekat). Aku
ingat pernah membalas dendam kepada anak2 perempuan tukang mengadu. Aku
menantang mereka untuk berkelahi di lapangan depan sekolahku. Aku menunggu
mereka datang. Aku sendirian. Dan yang datang malah guru olahragaku. Beliau
menyuruhku pulang. Hahaha. Cemen juga mereka rupanya. Dasar tukang mengadu.
Dan yang
terberat dari hari2ku duduk di bangku SD adalah kelas 5 dan kelas 6. Aku tidak
pernah tahu apa yang menjadi kesalahanku sehingga aku sangat sering
diintimidasi oleh guruku. Di kelas 5 aku bertemu kembali dengan guru kelas 3
ku. Dan penyiksaannya kepadaku rupanya belum berhenti. Puncaknya di pelajaran
Bahasa Indonesia karanganku dinilainya 60 tanpa dibaca terlebih dahulu.
Karangan itu bercerita tentang cita – citaku. Aku menulis aku ingin menjadi
insinyur seperti pak Habibie. Aku ingin membangun gedung – gedung bertingkat,
membangun jembatan yang besar dan kokoh. Aku tidak tahu kalau pak Habibie itu
bukan arsitek bangunan melainkan arsitek pesawat terbang. Yang kutahu waktu itu
Insinyur-lah yang membangun gedung dan jembatan. Pak Habibie seorang Insiyur. Dan
aku ingin menjadi insinyur. Kertas itu kuremas menjadi gumpalan bola. Dan aku
menangis. Menangis karena cita – citaku sama sekali tak di hargai guruku.
Padahal itu benar2 cita – citaku. Mimpiku. Mimpi anak kelas 5 SD. Mimpi yang
bagi guruku mungkin nyeleneh karena hampir seluruh kawan2ku menuliskan dokter,
pilot, guru, tentara atau polisi di lembar karangan mereka. Dan mereka mendapat
nilai 75-90. Di akhir pelajaran, setelah tahu aku menangis, beliau memanggilku.
Kupikir beliau akan merubah sudut pandangnya. Ternyata tidak. Beliau membacanya
di depan kelas sambil menertawakannya. ‘Mosok pak habibie jarene arsitek?’ itu
yang tertanam di otakku sampai sekarang. Yang ajaib, sampai sekarang, aku tidak
berhasil dalam setiap usahaku untuk membencinya. Yang ada setiap aku mengenang karangan
tentang cita – citaku itu aku berjanji, aku tidak akan pernah meremehkan cita –
cita seorang anak. Tidak akan pernah.
Walaupun
sering bersikap aneh begitu, guru kelas 5 ku ini lumayan baik hati. Aku sering
disuruhnya menjaga jajanan yang dijual dikantinnya. Upahnya aku mendapat
semangkok bakso (yang tak mampu kubeli dengan uang jajanku, hihi, melas) di jam
istirahat siang. Untuk bisa menjaga kantin, aku harus berangkat pagi – pagi
sekali, karena 2 anak yang pertama datang-lah yang berhak menjaga kantinnya.
Karena aku ingin bakso gratis, maka aku sering berangkat sekolah jam 6 pagi, karena kesiangan berarti
kehilangan kesempatan untuk menjaga kantin.
Kepala
sekolahku lebih merupakan seorang monster dari pada sosok yang mengayomi. Bibit
kenakalan yang berkecambah di kelas 3 tumbuh subur di kelas 4 dan 5. Buahnya kupetik di kelas 6. Aku bolak
– balik dipanggil ke ruang kepala sekolah. Sebabnya? Aku melakukan pemakaran.
Karena kakiku dipukul dengan penggaris sebagai hukuman atas hal yang tidak
kulakukan, aku berhenti menyapa guru kelasku. Aku mengabaikan semua
panggilannya. Aku tidak mencium tangannya setiap sekolah usai. Aku marah. Waktu
itu di kelasku sedang ngetrend memukul bangku berjama’ah. Ritmenya: siaaaap
grak, BRAK, kepada bendera merah putih, hormat grak, BRAK, berdoa mulai, BRAK,
berdoa selesai, BRAK, salam kepada guru, BRAK, slaaamaat pagi paaaaak
guuuruuu..... Dan aku tidak ikut. Aku dan beberapa kawanku tidak pernah ikut
menggebrak bangku. Tapi seluruh kelas dibariskan. Antre untuk mendapat satu
pukulan penggaris di betis. Tidak sakit, tapi harga diriku terluka. Berkali –
kali dihukum atas tuduhan yang tidak kulakukan, akhirnya aku berontak. aku
makar. Dan kepala sekolahku, alih – alih mengevaluasi sang guru, dia malah
memanggil kami bertiga, aku Astri dan Wiwid. Dengan tiga dakwaan yang berbeda.
Embuh. Aku terlalu marah mungkin ketika itu, hingga aku lupa bagaimana kami
berhasil melewati tekanan itu.
Aku membalas
kepala sekolah-ku dengan telak ketika berhasil menjuarai turnamen P4 tingkat
kecamatan, sebulan kemudian aku mewakili kecamatanku untuk lomba Matematika di
tingkat kabupaten. Dan puncaknya aku meraih NEM tertinggi se kecamatan. Dengan
semua catatan abu-abu yang kuperoleh di Sekolah Dasar, aku sempat heran,
bagaimana bisa aku mendapat prestasi yang begitu memuaskan. Jawabannya adalah
ibuku. Setiap malam, aku didampinginya belajar, disulamnya lembar jiwaku yang
koyak hingga kembali menjadi kain yang kuat, di pompakannya selalu semangat
dalam diriku. Ibuku menjadi guruku yang sesungguhnya, yang tidak hanya
mengajariku memahami pelajaran yang sebenarnya, tapi ibuku juga selalu
mendidikku untuk kuat menghadapi situasi di sekolahku.
Kini, bertahun
– tahun setelah lulus dari SD, aku masih bertemu dengan guru2ku itu sekali
waktu. Bahkan kepala sekolahku teman arisan purnakarya ibuku. Aku tidak
berhasil membenci beliau2, aku masih menghargai dan menghormati beliau2 sebagai
guru2ku. Menurutku, mungkin karena aku sudah membuktikan diri –dibantu sepenuhnya oleh ibuku- untuk bisa
berprestati ditengah segala tekanan yang diberikan oleh beliau2, itu sudah
cukup membalas sakit hatiku. Sudah jauh lebih dari cukup.
Pajang 02, 26
Nop 2011 menjelang tengah malam. Dengan sedikit air mata mengenang warna abu2 dari lembar sejarah masa
kecilku.
Meski berlatar 'abu-abu'...tapi prestasinya amzing euy, two thumbs up deh... ..Tengkyuuu dah ngerjainn PRnya. MAu PR lagi gak> wkwkwkkkkk
BalasHapusPR boleh aja buuu.... tapi jangan yang menguras air mata lagi yaaa...? wkwkwkw
BalasHapusngomong2 tentang PR kok jd minder nih,,punya saya belum selesai alamat bakal dapat setrap bu guru
BalasHapusayo ndang digarap mas kahfi,.... kalo bu guru yg nyetrap si gapapa,,,, kalo mba Ririe yg nyetrap bisa2 gawat tuh
BalasHapusWah,thx atas sharingnya
BalasHapusJadi ngingetin aktifitas dulu waktu masih di Tempat Magang Di Jogja yang kadang lucu, bosen, sedih n mengasyikkan. Pada akhirnya lebih banyak asyiknya sih.
Salam kenal dan semoga sukses selalu :D